Tata kelola pelabuhan Korea – Indonesia

Artikel Majalah Dermaga, Surabaya

MENGINTIP TATA KELOLA PELABUHAN DI KOREA SELATAN

Pengantar:

Beberapa waktu yang lalu, penulis melakukan perjalanan dinas ke Korea. Terangkum dalam program ITEP (INAP Technical Exchange Program), selain pengenalan lapangan industry dan organisasi terkait dengan Jasa Kepelabuhanan, juga dapat diungkapkan bagaimana Tata Kelola Pelabuhan di Korea. Seiring dengan tantangan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan PP No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, maka kiranya perlu kita bandingkan di sini bagaimana Korea mengelola pelabuhan dan terminal. Selengkapnya.

Berawal dari email Mr. Norikazu Sawamura, 19 Januari 2010 kepada segenap anggota INAP (International Network of Affiliated Ports) tentang hasil Survey INAP Technical Exchange Program, bahwa negara anggota sepakat memutuskan Port of Tanjung Perak sebagai mitra pertama untuk mencoba membuka liner shipping baru dari Korea melalui Asia Tenggara, khususnya Indonesia – Korea, sehingga diperlukan data tentang wilayah Indonesia.

Dengan prinsip kesalingpemahaman, Mr. Doo Jeong Bong, Managing Director dari Mokpo Newport, Korea juga melakukan korespondensi pada tanggal 8 Maret 2010 bahwa sebagai tindak lanjut dari the 11th INAP 2009 Mokpo Conference and exhibition yang diselnggarakan pada tanggal 8 September s.d. 9 September 2009, maka setiap anggota INAP setuju untuk mengirimkan satu orang staf dengan pemahaman manajemen operasional kepelabuhanan/cargo handling, dan direncanakan pada tanggal 5 s.d. 30 April 2010, di Mokpo Newport, Korea.

Tujuan dari program ini, selain goal akhirnya memang untuk mencari peluang baru liner shipping Korea – Indonesia, juga secara normative untuk berbagi ilmu pengetahuan, ketrampilan, meningkatkan hubungan antar lembaga internal anggota INAP, pemahaman kondisi ekonomi dan dunia industry local negara setempat untuk menumbuhkembangkan potensi kerjasama ke depan, dan juga membuka komunikasi lebih lanjut yang sifatnya tidak hanya government to government  (G to G), melainkan juga  business to business (B to B).

Realisasi dari program ini adalah pertukaran pegawai/staf, dimana Port of Tanjung Perak mengirimkan satu orang staf ke Mokpo Newport, dan sebaliknya Mokpo Newport juga mengirimkan satu orang staf ke Pelabuhan Tanjung Perak.

Metode pelaksanaan antara lain dengan melakukan presentasi makalah/company profile masing-masing pelabuhan/terminal, diskusi dengan setiap departemen/divisi setelah sebelumnya diadakan presentasi local tiap divisi, observasi lapangan dan visit terminal pelabuhan dan industry terkait, visit ke dunia industry ekspor – impor, dan diskusi pleno sebagai akhir kegiatan dengan focus hasil pelaksanaan, feedback terhadap INAP maupun program itu sendiri.

Selain itu, juga saling bertukar informasi terkait dengan dunia industry ekspor – import. Penulis sendiri kebagian “mengejar” informasi terkait dengan PT. Indokordsa, BASF Asia Pacific/Singapore, Mulia Glass, PT. Jakarta International Container Terminal (JICT), dan peluang komoditas palm kernel shell (PKS/Cangkang sawit) untuk diimport Korea dari Indonesia.

Selain itu, juga berkomunikasi dengan sumber dunia maya maupun nyata tentang PT. Mulia Glass Indonesia, TUAS Singapore, dan Steinwerg Warehousing.

Pasca realisasi program yang selesei pada tanggal 1 Mei 2010, pada pertengahan Juni 2010  yang lalu tim manajemen Mokpo Newport juga melakukan follow up dengan kunjungan ke PSA Singapore, kunjungan ke perusahaan-perusahaan sebagaimana tersebut di atas, juga kunjungan ke JICT Jakarta. Selain mengejar kargo, juga mengejar rute pelayaran komoditas penting, baik itu keramik, pergudangan, produksi barang kimiawi, perkebunan, dan sebagainya.

Potensi Ekspor PKS ke Korea

Terkait dengan PKS ini, pembangkit listrik Moorim Tech, yang menjadi bagian dari Korea Electrical Power Corp., (KEPCO) di Jinju – sebuah kota industry, memerlukan minimal setiap bulannya sekitar 5000 – 15.000 Ton secara rutin tanpa henti.

Jadi, setiap tahun sekitar 60.000 – 180.000 ton. Dengan asumsi harga per kilogram Rp. 470,- atau Rp. 470.000 per ton, maka nilai tahunan sekitar Rp. 28 milyard sampai dengan Rp. 84 milyard.  Sayangnya, informasi masalah keberadaan PKS secara nyata, dalam hal kepastian volume dan kualitas,  tidak tersedia.

Penulis berusaha mengkontak langsung dengan pabrik kelapa sawit di Kalimantan (Kumai, Sampit) dan Sumatera (Medan), namun hampir semua berdalih untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja tidak cukup. Demikian juga ketika mengontak Indonesia Palm Oil Association / GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia) di Jakarta, data riil tentang PKS juga malah tidak tersedia. Kebanyakan data tentang CPO (crude palm oil), dan PKO (palm kernel oil).

Indonesia memang dikenal sebagai the biggest exporter of CPO yakni memenuhi market share lebih dari 44 % dunia, diikuti Malaysia sekitar 42 %. Annual produksi CPO untuk Indonesia sampai tahun 2006 adalah lebih dari 16 juta ton.  Tahun 2010 ini, produksi CPO Indonesia  diprediksikan akan mencapai 21 juta ton.  PKS lagi-lagi tidak didapatkan data riil mengenai volume tahunannya.

Kenyataannya, memang banyak Pabrik Kelapa Sawit menggunakan PKS sebagai bahan bakar untuk memanasi boiler pabrik sawitnya, termasuk untuk menggantikan energy batu bara untuk memanasi CPO.  Produk turunan dari sawit tersebut memang sedang menarik perhatian kalangan industry. PKS, diyakini sebagai bahan bakar non bbm yang lebih eco friendly, utamanya bila dibandingkan batu bara (coal). Pada waktu proses pembakaran, polutan yang dihasilkan tidak seberbahaya batu bara.

Menurut informasi dari Departemen Pertanian,  target pencapaian tersebut didukung dengan telah dibukanya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Dumai, Riau dan Semangke serta Kuala Tanjung Sumatera Utara (Sumut), yang tidak melalui pembukaan lahan sawit secara membabi buta.

Sebab, sebagian besar kebun-kebun kita itu sudah waktunya replanting atau ditanam lagi. Dengan varietas-varietas baru. Ambisi Indonesia dengan adanya KEK tersebut maka target produksi pada 2020 sebesar 40 juta ton akan tercapai.

Bila Terminal/Pelabuhan di Indonesia cukup sensitive terhadap produk turunan CPO yakni PKS, maka volume 200.000 ton untuk PKS mestinya tidak akan sulit. Dengan full handling pasca PP No. 61 Tahun 2009 yang mengarahkan pelabuhan sebagai Terminal Operator, taruhlah asumsi tariff handling perton PKS adalah Rp. 100.000, maka pendapatan (revenue) tahunan dari handling PKS adalah sebesar Rp. 20 milyard.  Angka yang lumayan bagus bila bisa dilewatkan Terminal Bumiharjo Tanjung Kalaf  Kumai, atau Terminal Bagendang Sampit.

BEDA PELABUHAN BEDA TATA KELOLA

Bila tadi diceritakan mengenai PKS, memang salah satu agenda ITEP di Mokpo Newport adalah kunjungan ke dunia industry. Selain menjalin hubungan antar lembaga, juga mengkondisikan dari mana dan kemana produk industry, sekaligus bahan dasarnya (raw material) itu berasal.

Selama periode 10 April sampai dengan 1 Mei 2010, penulis melakukan banyak perjalanan internal Korea yakni ke terminal Mokpo Newport itu sendiri, kantor cabang di Seoul, Hyundai Samho Heavy Industry, Daehan Ship Building Company, Jinju City, Incheon Port yang terkenal dengan lock operation gate system mirip dengan operasi di Terusan Panama, Gwanyang Port, dan Pusan/Busang Port.

Mokpo Newport Terminal berada di lokasi strategis pertengahan Sungai Kuning (Yellow sea rim), dan geografis bagaikan sumbu dari tiga negara Asia Timur Jauh (Jepang, China, dan Korea). Dengan adagium Mokpo Treeport, ditujukan pada model pelabuhan yang benar-benar terintegrasikan dengan area bisnis industry sekaligus tidak sulit dijangkau kawasan hunian penduduk.

Mokpo dekat dengan kompleks  industry seperti Daebul,  Samho, Cheondam, Yeongam, dan juga ibu kota propinsi Jeollanam akan dipindahkan mendekati lokasi sekitar Mokpo Newport. Mokpo Newport juga berdekatan dengan Pulau Goha, yang merupakan wilayah pengembangan industry Mokpo.

Pelabuhan di Korea sendiri berada di bawah koordinasi Kementrian Tanah, Transportasi dan Kemaritiman (Ministry of Land, Transportation and Maritime Affairs). Program privatisasi juga telah dilaksanakan, sehingga beberapa operator internasional seperti PSA Singapore dan Dubai Internasional juga memiliki saham di Busan Port.

Sebagai pembanding, berikut sebagian tata kelola Pelabuhan di Korea.

Tabel 1: Perbandingan Pelabuhan Indonesia dan Korea

No. Pelabuhan / terminal Konstruksi/

Infrastruktur

Operasi/

Operator

Keterangan
1 Mokpo New Port Swasta Swasta Build Operation Transfer/BOT/ Konsesi 50 tahun
2. Gwangyang Port Pemerintah Swasta/TO Landlord Port  – KCTA
3. Incheon Pemerintah Swasta/TO Landlord,Incheon Port Authority
4. Busan New Port Swasta Swasta BOT konsesi 50 tahun, Busan Port Authority
5. PT. Pelindo BUMN BUMN – APBMI Akan diubah pasca UU No. 17 Thn 2008

Sumber: Data primer dan diolah bersama Mr. Ki Doo Ma, GM Marketing Mokpo New Port.

Untuk Mokpo Newport terminal, dapat dikatakan 100 % pelabuhan swasta karena pembangunan infra dan suprastruktur pelabuhan (dermaga, gudang, jalan oeprasional, peralatan bongkar muat), sampai pengoperasiannya dikendalikan oleh Mokpo New Port  atau dikenal sebagai MNP Manajemen. MNP sendiri adalah unit logistic pelabuhan dibawah perusahaan konglomerat Korea, Halla Group.

Gwangyang dan Incheon  pemilik tanah dan pembangun infrastruktur adalah pemerintah, lantas dioperasikan oleh TO-TO yang notabene adalah perusahaan pelayaran besar. Di Gwangyang, dikendalikan oleh konsorsium bernama Korea Container Terminal Authority (KCTA), sedangkan di Incheon dikendalikan oleh Incheon Port Authority yang mandiri dalam skala municipality (Kota Incheon).

Sedangkan di Busan, pemilik tanah adalah negara (pemerintah pusat Korea), sedangkan pembangun infrastruktur adalah swasta dengan system konsesi 50 tahun. Di sana terdapat operator PSA Singapore, Hutchingson Group,  dan Dubai World Operator yang membangun dermaga sekaligus memiliki alat dan mengoperasikannya.

Penutup

Tulisan ini hanyalah pemicu untuk kajian dan bahasan lebih lanjut. Antusiasme Korea dalam menjalin relasional dengan kawan-kawan Asia, yakni Indonesia, Jepang, China, dan India, kiranya menjadi cambuk bagi kita untuk senantiasa bangkit mengiringi berpacunya pertumbuhan ekonomi Asia.

Rontoknya perekonomian Amerika Serikat sekaligus hampir kolapnya negara Yunani, kiranya dapat dijadikan pembalajaran bagi kita. Bahwa ekonomi Asia, senyatanya adalah harapan yang lebih cemerlang, karenanya kita perlu terus bersemangat menjalin networking dan proses pembelajaran secara terus menerus.

Jejaring INAP, APA, IAPH, dan lainnya kiranya perlu terus diikuti dan digali manfaat yang ada. Semoga. (kiriman: Nugroho Dwi Priyohadi, MSc., alumnus WMU Swedia, pegawai Divisi Pelayanan Kapal Cabang Tanjung Perak Surabaya)

Dermaga edisi No. 141 Agustus 2010, hal. 30-31

About nugrohodpriyohadi

S1 Psikologi Industri, UGM Yogyakarta, Profesi Psikolog, UBAYA Surabaya, MSc Port Management Sweden; Psychology, HRD, Logistic, Tourism, Management, Maritime
This entry was posted in Logistic, Maritime. Bookmark the permalink.

Leave a comment